Renungan Harian - Saturday, 24 December 2022

PALUNGAN YESUS, TANDA UTAMA


Sabtu, 24 Desember 2022

MALAM NATAL

Yesaya 9:1-6

Mazmur 96:1-2a.2b-3.1-12.13

Titus 2:11-14

Lukas 2:1-14.

 

“Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin,  dan terbaring di dalam palungan.” --- Lukas 2:12


DI GEREJA ST. MARIA MAGGIORE, Roma, tersimpan seluruh Relikwi Palungan Suci (La Sacra Culla). Meski sejarah relikwi itu sangat panjang dan penuh drama, namun ia sering lewat dari perhatian. Yang lebih sering dibicarakan dalam tradisi kisah Natal adalah, di mana Yesus dilahirkan, di sebuah gua, di sebuah rumah, atau di sebuah kandang hewan, atau kombinasi dari semuanya. Tanpa disadari, sesungguhnya semua teori mengenai tempat kelahiran Yesus itu, sangat terkait dengan ‘palungan’ (Yun. phatn?), tempat bayi Yesus dibaringkan.

Dalam Kisah Kelahiran Yesus menurut Lukas ini, tiga kali ungkapan ‘palungan’ disebutkan. Pertama pada Luk. 2:6-7: ketika Maria dan Yusuf di Betlehem, maka “tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin, dan dibaringkannya di dalam palungan (Yun. phatn?), karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah persinggahan (Yun. kataluma)”. Pada yang kedua dan yang ketiga, ‘palungan’ menjadi ‘tanda’ untuk ‘menemukan’ bayi Yesus (lih. Luk. 2:12.16). Artinya, kalau ingin melihat Yesus, carilah lebih dulu palungan itu!

Tafsiran mengenai makna keberadaan ‘palungan’ itu juga beragam.

Dalam sebuah tradisi midras Yahudi (cara penafsiran Alkitab untuk kepentingan khotbah) dikisahkan, ketika Adam dikutuk dengan perkataan: “semak duri dan rumput duri, yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu” (lih. Kej. 3:8), maka ia bertanya pada Yahwe: “Apakah saya akan diikat ke palungan untuk makan bersama keledaiku? Apakah karena telah berbuat dosa, derajat dan kedudukan saya akan sama dengan binatang?” 

Oleh Lukas, makna palungan sebagai ‘tempat dan tanda kesamaan manusia dengan binatang’ itu, diubah. Dengan tiga kali menyebut ‘palungan’, sebagai ‘tempat di mana Bayi Yesus ditemukan’, Lukas mau menunjukkan bahwa Yesus sebagai ‘Adam Baru’, telah mengubah situasi ‘ikatan dengan palungan’, yang ditakuti oleh Adam ‘lama’, menjadi sesuatu yang memiliki unsur penyelamatan.

Tafsiran lain mengaitkan keberadaan palungan itu dengan Yes. 1:3: “Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya”.

Di sini, palungan menjadi lambang tempat, di mana orang mengenal Allah. Ini sesuai dengan pernyataan malaikat mengenai ‘palungan sebagai tanda’ pada Luk. 2:12.16. Atas dasar ini, maka perintah malaikat untuk pergi ke palungan adalah perintah untuk menemui dan mengenal Tuhan, Sumber Sukacita bagi semua orang, seperti dikidungkan dalam ‘Gloria’. Dan hanya mereka, yang tidak terikat pada identitas ‘duniawi’—seperti para gembala dan kelompok pinggiran yang tak punya KTP--, akan lebih mampu mengenali identitas Ilahi itu. Artinya, orang baru akan mampu menerima kehendak dan kehadiran Allah, bila bersedia ber-kenosis atau ‘mengosongkan dirinya’ (lih. Fil. 2:7). Di sini, ‘palungan Tuhan’ menjadi Sumber Kehidupan, seperti “keledai yang mengenal palungan yang disediakan tuannya”.

Lalu, ihwal Yesus tidak dilahirkan di kataluma, atau ‘rumah singgah’ (lih. Luk. 2:7), bisa dikaitkan dengan rintihan Yehuda pada Yer. 14:8: “Ya Pengharapan Israel, …. mengapa Engkau seperti orang asing di negeri ini, seperti orang perjalanan yang hanya singgah untuk bermalam?”.

Melalui Yer. 14:8 ini, ungkapan “tidak ada tempat bagi mereka di rumah singgah” (Luk. 2:7), bukan menjadi tanda sebuah penolakan hospitalitas. Sebaliknya, ungkapan tersebut kini justru memiliki makna positip. Melalui kisah kelahiran Yesus di luar kataluma, ditunjukkan, Tuhan, Sang Juruselamat, kini tidak lagi menjadi ‘orang asing’ (yang terbuang) seperti tersirat pada Yer. 14. Imanuel ini sangat dekat dengan kita, karena Dia tinggal di ‘palungan’ hidup kita. Dia bahkan “dibungkus dengan kain lampin” (lih. Luk. 2:12), yang dimaknai oleh Raja Salomo sebagai anugerah rajawi Ilahi. “Dengan kesayangan, aku dibesarkan dalam bungkus (kain lampin). Sebab, tidak ada seorang rajapun mempunyai permulaan hidup yang lain” (Keb. 7:4-5).

Singkat kata, Yesus lahir di Kota Daud. Dia tidak berada di ‘rumah singgah’ (kataluma), seperti orang asing, tetapi berada di ‘palungan’ (pathne), di mana Allah menghidupi dan memberi makan umat-Nya. Dan, Imanuel, ‘Allah yang beserta kita’ itu, mewujudkan itu semua—melalui lambang ‘dibungkus kain lampin’--dengan kuasa rajawi Kerajaan Surga! Itulah makna pembalikan sejarah. Selamat Malam Natal. (WIT)

DOA: “Ya Tuhan yang Mahabaik, kami mengucapkan syukur karena melalui Bunda Maria dan Santo Yusuf, Engkau telah menganugerahi kami dengan kehadiran Ilahi-Mu dalam kehidupan konkret ini”.

JANJI: “Nyanyikanlah lagu baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi! Menyanyilah bagi TUHAN, pujilah nama-Nya, kabarkanlah keselamatan yang dari pada-Nya dari hari ke hari”. - Mazmur 96: 1-2

PUJIAN      Lagu Malam Kudus”, aslinya dalam Bahasa Jerman, Stille Nacht (Malam Sunyi), dinyanyikan pertama kali pada Malam Natal th. 1818 di sebuah gereja kecil paroki St. Nikolas di Oberndorf, selatan Kota Zalzburg, Austria. Di depan umatnya, Romo Joseph Mohr (1792-1848), pembuat lirik lagu itu, menyanyikan Stille Nacht bersama sahabatnya, Franz Xaver Gruber (1787-1863), seorang guru dan organis yang menulis melodinya. Saat itu, lagu tersebut dinyanyikan dengan iringan gitar dari Romo Mohr, karena orgel gereja rusak. Umat Oberndorf, yang kebanyakan berprofesi sebagai pembuat perahu dan pedagang garam, segera menyukainya. Sesungguhnya, lirik Stille Nacht sudah dibuat oleh Romo Mohr pada 1816, saat ia bekerja di paroki Mariapfarr, dekat Zalzburg, di mana penduduknya miskin dan tertekan. Melalui lirik Stille Nacht, Mohr mau mengajak umatnya meyakini bahwa “hari ini, semua kekuatan kasih kebapakan Ilahi telah dicurahkan, dan Yesus sebagai ‘Saudara’ merangkul semua penduduk dunia”. Lirik dan melodi “Stille Nacht” memang membawa rasa damai universal, yang melampaui batas-batas budaya dan agama. Sebuah catatan sejarah menunjukkan, Stille Nacht berperan menciptakan Genjatan Senjata th. 1914, ketika pada puncak awal Perang Dunia I (1914-1918), tentara Jerman dan Inggris, yang bertempur di garis depan Flanders, Belgia, meletakkan senjata mereka di Malam Natal, dan bersama-sama menyanyikan Malam Kudus.

Penanggung Jawab RH: Rm. Subroto Widjojo, SJ


Bagikan :

Renungan Harian lainnya :

TAAT PADA PEMERINTAH DAN ALLAH

Saturday, 17 Aug 2024

TAAT DAN SETIA

Friday, 16 Aug 2024

TUJUH PULUH KALI TUJUH

Thursday, 15 Aug 2024

PENGAMPUNAN

Wednesday, 14 Aug 2024

KEBESARAN DAN KERENDAHAN HATI

Tuesday, 13 Aug 2024

SIKAP TAAT

Monday, 12 Aug 2024

YESUS ADALAH ROTI HIDUP

Sunday, 11 Aug 2024

HIDUP UNTUK BERBUAH

Saturday, 10 Aug 2024

TABUR TUAI

Friday, 09 Aug 2024

KEBESARAN IMAN

Wednesday, 07 Aug 2024

YESUS MENAMPAKKAN  KEMULIAAN-NYA

Tuesday, 06 Aug 2024